Minggu, 23 Oktober 2011

cerpen : BULAN LUKA

BULAN LUKA  

::NAGA PAMUNGKAS::

BAR itu masih ramai. Falling in love-nya Kenny G masih mengalun lembut. Musik yang komunikatif, dengan irama yang lancar mengalir dari belaian suara saksofon yang menghibur rasa. Itu cukup membuat pengunjung bar itu hanyut rasa terbawa irama, di antara siraman dry ice tipis lampu bar yang menyebar ke segenap bilik.
“Turun mas?”
Aku menggeleng
Bau-bau alkohol menikam hidung. Asap-asap rokok mengabut mata. Bau parfum wanita itu pun mula mengususik hidungku. Wanita yang mengenakan rok span super mini yang ketat, dengan baju berbelahan dada sangat rendah berwarna pink. Dua bukit putih menyembul keluar. Tanpa kutang.
“Kenapa diam, mas,” suara wanita yang sedang menemaniku minum
Aku menatapnya.
Mata-mata merah.
Menor.
Alkohol
Ah.
Wanita menor itu lalu mengambil sebatang rokok. Diletakkannya sebatang rokok di antara kedua-dua bibirnya yang merah basah. Kerana gincu dan alkohol. Tangannya lalu memunggut korek jenama Zippo.
Ting cress … wanita bermata merah kerana alkohol itu menghembuskannya perlahan. Asap rokok kembali mengabut. Meraba-raba pupil mata.
Mata-mata merah.
Menor.
Alkohol.
Ah.
“Minum lagi, mas?” tawar wanita itu genit.
Kali ini aku mengangguk.
Wanita itu tersenyum. Lalu memanggil pelayan bar.
Sesaat. Dua saat. Dua botol bir hitam lagi.
Ah.
Aku melirik arloji. Malam masih panjang. Aku menarik nafas. Betapa, ah, betapa aku merasa asing dengan diriku sendiri. Apakah telah terjadi perubahan pada diriku? Dan perubahan itu pulalah yang lalu mendatangkan keasingan? Ah, aku tidak mengerti. Kembali aku menghela nafas. Panjang.
Lagu berganti.
Silhoutte-nya Kenny G!
“Apa yang difikirkan, mas? Kok tidak seperti biasanya mas jadi pendiam begini “.
Aku masih diam.
“Mas datang ke sini’kan untuk bersenang-senang …,” kembali wanita menor itu mengoceh. “Ayolah, mas …,” wanita itu kembali menenggak bir hitam lagi.
Aku membuang puntung rokok di asbak. Menuang bir hitam ke gelas. Lalu menenggaknya dan alkohol mulut menggigiti tubuh.
Merah.
Aku mengambil merokok.
Ting cress
Asap kembali mengepul.
Bau alkohol menyergap hidung.
Juga bau parfum wanita itu.
Kesenangan? Bukankah itu yang selama ini aku cari? Atau lebih tepatnya pelarian. Suara hatiku sendiri berkata.
“Akuteringat isteriku …,”ujarku perlahan.
Wanita itu tertawa.
“Kenapa?” Tanyaku hairan.
“Mas lucu,”wanita itu kembali tertawa. “Pada masa sekarang dan di tempat ini mendadak mas teringat dengan isteri mas?”
“Aku sudah terlalu banyak membohongi isteriku”.
“Mas merasa bersalah dan menyesal?”
Aku mengangguk.
“Minum mas …”.
Bau alkohol kembali memeluk hidung.
“Aku tidak tahu. Entah apa yang sedang dilakukan isteriku sekarang ini di rumah. Aku telah berkali-kali membohonginya. Ada rapat di kantor, ada pertemuan di luar kota, ada lembur dan berbagai alasan lain, “aku mengacak rambutku. Aku memandang wanita itu, yang duduk dengan kaki berjuntai dalam pose yang sangatmerangsang. Tapi saat ini yang ada dibenakku adalah isteriku. Istriku yang sederhana. Istriku yang penurut. Istriku .. .
“Sudahlah mas …,” wanita itu menggenggam tanganku. Alkohol mula membakar tubuh kami. Aku menghisap dalam-dalam asap rokokku dan menghembuskannya perlahan.
“Tak usah terlalu difikirkan mas …,” ujar wanita itu menghibur. Adalah memang tugas dia menghibur tetamu. Dia telah melakukannya dengan baik. Di mana-mana juga. Ya, di mana-mana juga bila aku sedang memerlukan kehangatan, yang dibayar dengan rupiahnya.
“Aku telah menghianti isteriku!”.
Ada suara penyesalan yang keluar dari mulutku.
Dan asap-asap rokok mengabut mata.
Ah.
Awalnya adalah pertengkaran.
Lalu bar.
Alkohol.
Dan wanita.
Aku mendesah.
Adalah kebimbangan saat ini yang menyergapku. Mengikat dan membelenggu fikiranku.
Cerai?
Ah, tidak! Aku masih mencintai isteriku. Tapi, tapi apa yang kulakukan saat ini? Apa yang telah kuperbuat? Apa boleh dikatakan aku masih mencintai isteriku, sementara aku sendiri asyik bermesraan dengan wanita lain?
Aku telah mandul! Mandul sebagai seorang suami sejati. Suami yang benar-benar suami. Aku telah menghianti isteriku. Aku … aku adalah suami yang berhianat!.
“Turun mas,” wanita itu menarik tanganku, mengajakku berdansa.
Aku mengikut.
Ada dekapan.
Ada mesra yang berpagut.
Musik mengalun lembut.
Aku mengikut.
Tanpa terasa musik hampir habis.
“Capek mas,” wanita itu mengajakku berhenti.
Kami kembali duduk.
Wanita itu menengguk bir hitam yang masih tersisa.
Dan aku kembali menyalakan rokok.
Asapnya mengepul.
Mengabuti fikiranku.
“Kamu harus kawin lagi?” tergiang lagi suara ibuku.
“Tapi bagaimana dengan isteriku?”
“Cerai!”.
Ah.
Aku kembali menghisap dalam-dalam asap rokokku. Atau jadikan dia isteri pertama, “suara ibuku berdengung-dengung lagi di fikiranku.
“Tapi …”.
“Kamu anak tunggal. Kamulah penerus keturunan kita! “.
Ah.
Aku seperti seekor serigala tua ompong yang terkurung dalam kerangkeng besi dan seekor arnab kecil mempermainkan aku dari luar kurungan!
Anak. Itulah yang mengusik kami, setelah sekian tahun berkahwin dan umur semakin senja. Kami merindukan anak.
Tanpa anak, malam jadi tak berbintang.
Meja makan hampa.
Dan ranjang menjadi dingin.
Pernah isteriku mencadangkan agar kami mengadopsi anak. Tapi ibuku melarang, darah daging yang jadi alasan.
Ah, aku adalah serigala ompong yang penurut!
Tidak!
“Aku ingin pulang. Aku rindu isteriku …, “kataku.
“Mas …”.
Aku membayar minuman.
Juga wanita itu.
Lalu pergi.
“Aku rindu isteriku …” suara hatiku.
Maka mobil kian kupercepat. Gas pun semakin kuinjak.
Mobil semakin laju.
Menembus malam.
Mencumbu jalan.
“Kamu anak tunggal!
Kamulah pengganti keturuan kita! “Suara ibuku kembali menghantui di pikiranku.
“Tidak! Aku rindu isteriku … “.
“Atau jadikan dia isteri pertama!”.
Mata-mata merah.
Menor.
Alkohol.
Ah.
“Bagaimana dengan isteriku”
“Cerai!”
Suara-suara ibuku terus meracuni otakku.
Mobil kian kupercepat.
Tak ada suara lagi.
Sunyi.
Sunyi.
Sunyi.
Pada suatu garis lurus lain, tanpa kusadari sebuah dump truck melaju dengan kecepatan tinggi. Menginjak rem pun percuma. Akhirnya di persimpangan jalan tabrakan tak dapat dielakkan lagi.
Seketika aku tiba-tiba menjadi ringan.
Melayang.
Di bawah, di dalam kereta yang hancur nampak jasadku berlumuran darah. Tak bergerak.
Aku melayang. Melayang seperti awan.
Sementara di rumah, aku melihat isteriku resah menanti kedatanganku. Dia melangkah lalu membuka pintu. Ah, malam semakin renta. Dia kembali menutup pintu. Aku melihat penampilannya kini berubah. Dia mengenakan rok span super mini yang ketat dengan baju berbelahan dada sangat rendah, berwarna pink. Dua bukit putih menyembul keluar. Tanpa kutang. Aku sendiri tak akan pernah bisa pulang. ***
(Koran Harian ManuntunG/Kaltim Post, Minggu 20 Jun 1993)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar