Jumat, 04 November 2011

Manusia yang Melahirkan Anjing dari Mulutnya

Manusia yang Melahirkan Anjing dari Mulutnya

:: Agni Kasmaranwati ::


AKU datang ke kampung itu menjelang senja. Lolong dan gonggong  anjing terdengar di mana-mana. Di jalan-jalan kutemukan lebih banyak anjing daripada manusia. Aku tersesat di sebuah kampung yang asing bagiku. Hanya kampung ini yang aku temui setelah berhari-hari berjalan. Aku tadi bertanya kepada salah seorang lelaki, di mana rumah kepala kampung. Lelaki itu menunjukkan jalan ke arah timur.  Matanya masih memperhatikanku, ketika aku melangkah ke  arah jalan yang ditunjuknya. Malam kini mulai merambat. iblis-iblis malam mulai keluar dan berkeliaran.
Kampung yang terpencil. Tak ada lampu-lampu jalan. Jalanan gelap. Hanya bulan yang membantu. Di depan sebuah rumah panggung aku mengetuk pintu. Suara anjing di balik kolong rumah memekakkan telingaku. Warga kampung kelihatannya sangat akrab dengan anjing. Seorang lelaki tua membuka pintu.
‘’Pasti adik tersesat?’’ kata lelaki tua itu. Dia membuka pintu lebar-lebar. Di dalam kulihat, ada seorang wanita tua. Lelaki tua itu tinggi kurus. Uban tak hanya nampak di rambutnya yang tipis, tapi juga di jenggotnya yang mirip ekor anjing. Sama dengan lelaki penunjuk arah yang kutemui di persimpangan menjelang senja, mata lelaki tua itu juga merah seperti sumber api.
“Iya pak. Saya ingin menumpang tidur,’’ jawabku.
Aku menjelaskan kepadanya. Aku pencinta hutan, sungai dan gunung, yang tersesat. Dia mempersilahkan masuk. Mandi? Aku tak ingin mandi. Dia mempersilahkan aku makan. Aku bersedia makan karena aku memang lapar. Aku dua hari tersesat. Selama dua hari aku hanya makan buah-buahan hutan dan air dari sungai. Setelah dua hari aku melewati hutan, menyeberangi sungai dan menaiki gunung aku mendengar gonggongan, atau mungkin lolongan anjing di bawah gunung. Aku yakin, bila ada anjing pasti ada kampung. Aku makan dengan lahap. Karena setelah 2 hari baru kini aku merasakan nasi dan daging bakar.
Lelaki tua dan istrinya itu menatapku. Dia menceritakan, orang asing yang datang malam hari ke kampung dan mengetuk rumahnya pasti lah tersesat. Karena, tak mungkin ada orang yang mau ke kampung mereka yang sepi untuk suatu tujuan tertentu. Tak ada apa-apa di kampung mereka.
“Beberapa hari yang lalu juga ada dua pecinta alam yang tersesat. Tapi kini mereka sudah pulang. Entah apakah mereka sudah sampai di rumah atau belum,’’ ujar kepala kampung itu.
Seakan mengerti dengan keherananku. Lelaki tua itu mengatakan, di kampung ini memang lebih banyak anjing dari manusia.  Jumlahnya tak terhitung. Berkeliaran ke mana-mana mencari makan. Siang hari anjing-anjing itu lebih banyak tidur. Menjelang senja hingga tengah malam mereka mulai bermunculan dan mencari makan. Mereka menyerbu kuburan. Mengais-ngais tanah untuk mencari makanan. Warga pun khawatir. Karena anjing semakin banyak, sementara makanan yang ada mulai habis.
            Anjing-anjing itu percuma dibunuh. Karena jumlahnya yang sangat banyak. Jutaan anjing. Sementara jumlah penduduk kampung hanya sekitar 100 ribuan jiwa saja. Semakin dibunuh, populasinya bukannya semakin berkurang tetapi malah terus bertambah.
            Malamnya aku tak bisa tidur. Sekalipun telinga aku tutup dengan kain, tetapi suara-suara anjing yang berkelahi berebut makanan di kuburan masih terdengar.  Aku bangun pagi. Berjalan-jalan sendirian mengamati kampung. Ketika aku keluar rumah kepala kampung, anjing-anjing sedang tidur di depan pintu. Jumlahnya puluhan—atau mungkin sekitar 70-an ekor.  Di bandingkan anjing-anjing di rumah warga, anjing-anjing di rumah kepala kampung adalah yang paling sedikit jumlahnya.  Mungkin jumlahnya tak lebih dari sekitar 600 ekor. Kulihat di samping rumah, di belakang rumah dan di bawah kolong rumah juga ada. Warnanya lebih banyak hitam. Mungkin anjing-anjing itu kekenyangan atau kelelahan setelah berebut makan di kuburan semalam. Malam dan siang kampung ini sama saja. Menyeramkan. Anjing-anjing ada di mana-mana. Tak hanya di rumah kepala kampung di seluruh rumah warga lainnya pun aku lihat anjing. Di sekeliling rumah penuh anjing. Ada yang tidur. Ada yang mendongakkan kepala ketika melihatku berjalan. Ada yang mengikutiku. Jumlahnya ratusan ekor.
            Aku berbalik menuju ke rumah kepala kampung, yang ketika aku keluar tadi nampaknya masih tidur. Dia tak mempunyai anak. Hanya tinggal berdua dengan istrinya. Aku tak ingin berjalan terlalu jauh. Apa juga yang aku lihat di kampung  anjing ini. Hanya rumah-rumah yang banyak dipenuhi anjing. Lebih baik aku di rumah kepala kampung saja dan segera minta antar menuju jalan arah pulang ke rumahku.
Tiba di rumah kepala kampung aku lihat dia dan istri tidak ada. Berarti mereka sudah bangun. Aku lihat mereka berada di pondok di tengah sawah. Sawah mereka terletak tak berapa jauh di belakang rumah.
Di pondok sawah, lelaki tua dengan didampingi istrinya yang lebih banyak diam itu bercerita tentang kampungnya banyak anjing?
‘’Anjing-anjing itu keluar dari mulut kami,’’ katanya, dengan matanya yang merah seperti ada bara api.
Selanjutnya lelaki tua itu menceritakan, bagaimana upaya dia menekan angka kelahiran anjing yang kian hari kian terus bertambah. Dia mengimbau, agar warga  di kampung mereka berbicara seperlunya saja.  Sayangnya, upaya itu kurang berhasil. Anjing-anjing  terus lahir dari mulut mereka. Tanpa disadari jumlahnya semakin banyak. Semakin hari, kelahiran anjing dari mulut menjadi hal yang biasa. Malah kalau berbicara tak mengeluarkan anjing dianggap hal yang aneh. Seperti meniup balon permen karet, begitulah kira-kira anjing-anjing itu keluar dari mulut. Setelah jatuh ke tanah, anjing itu lari menjauh sambil menggonggong.
Aku hampir muntah ketika di bagian cerita dia menyebutkan; salah satu upaya lain untuk menekan laju pertumbuhan anjing adalah dengan menjadikan lauk makan mereka.
“Kami menanam padi dan lauknya dari daging anjing,’’ suara kepala kampung itu. Di sebelah istrinya tersenyum.
Persoalan lauk bagi warga bisa teratasi. Tapi bagaimana dengan anjing yang juga memerlukan makan. Kepala kampung itu menyebutkan, seakan balas dendam anjing-anjing itu mencari makan ke kuburan. Mereka mengali-gali tanah kuburan nenek-kakek moyang mereka. Apalagi bila ada warga yang baru meninggal dunia dan dikuburkan, malamnya para anjing itu berpesta pora. Penduduk kampung tak punya cara lain untuk menguburkan warga yang mati. Mereka tak mau mayat dibakar. Mereka ingin, orang yang meninggal dunia dikembalikan ke tanah.
“Lama kelamaan warga kampung kami cemas. Karena jumlah anjing semakin banyak sementara makanan untuk anjing tidak mencukupi. Suatu ketika ada sekelompok warga tersesat ke kampung kami,’’  suara kepala kampung lagi.
Para warga yang tersesat itu, lanjut kepala kampung,  dari kampung lain. Kedatangan mereka bagi warga kampung kami semula dianggap sebagai pahlawan. Karena para warga kampung lain itu tidak melahirkan anjing. Tetapi mengeluarkan ular dari mulut mereka. Bila mereka berbicara, ular terhempas ke tanah, keluar dari mulut. Sama seperti anjing yang dilahirkan dari mulut warga kami, ular tersebut juga langsung menjauh. Menurut mereka, bila masih kecil, gigitan ular yang dilahirkan dari mulut mereka belum mematikan. Setelah besar ular-ular itu memiliki racun yang membunuh. Para warga tersebut melarikan diri, karena populasi ular di kampung mereka sudah sangat besar. Banyak warga yang mati digigit ular. Hampir setiap hari ratusan ular dilahirkan dari mulut warga.
“Kedatangan warga tersebut tentu saja mengkhawatirkan kami. Keselamatan kami terancam. Sekalipun mereka berjanji akan menuntaskan masalah dengan mengurangi populasi anjing, tapi ular-ular tersebut juga akan mengurangi populasi warga kampung kami. Warga tak setuju. Karena mereka tak ingin hidup dengan ular. Warga yang melahirkan ular tersebut akhirnya kami usir keluar dari kampung,’’ kata kepala kampung.
Aku lantas berpikir; hari ini juga aku harus meninggalkan kampung anjing ini. Aku bertanya kepada kepala kampung jalan menuju arah pulang. Mumpung matahari belum berada di atas kepala.
Kepala kampung menyarankan besok pagi saja. Tapi aku tetap ingin segera pulang. Aku tak bisa tidur dengan suara-suara anjing yang berebut makanan di tanah kuburan. Aku tak ingin menunggu besok.
Kepala kampung menunjukkan arah jalan pulang. Melewati hutan, menyeberangi sungai dan menaiki gunung. “Bila pulang besok pagi akan aku antar sampai perbatasan,’’ suaranya.
Tapi aku menolak. Aku ingin segera meninggalkan kampung. Anjing-anjing mendongakkan kepala ketika aku melintasi mereka. Mata-mata anjing itu merah dan lidah-lidah mereka terjulur, tapi bukan seperti lidah anjing, melainkan lidah ular. Sebelum pergi, kepala kampung berpesan, usahakan jangan lari bila takut dengan anjing. Tapi seakan anjing-anjing itu mengerti tujuanku yang ingin pergi meninggalkan kampung. Anjing-anjing itu mengikutiku. Aku berusaha tidak lari. Terus berjalan menuju hutan, lantas menyeberangi sungai dan menaiki gunung seperti yang disebutkan kepala kampung.
Anjing-anjing yang mengikutiku mengonggong. Gonggongan itu membuat anjing-anjing lain, yang berada di dalam rumah, di kolong dan sekeliling rumah serta di tempat-tempat lain bermunculan. Mereka mendongakkan kepala, menoleh ke arahku, lantas berlarian mengikutiku. Aku lihat jumlah anjing-anjing itu semakin banyak. Aku perkirakan jumlahnya tak lagi ratusan. Tapi sudah jutaan. Aku ingin segera tiba di hutan, lantas menyeberangi sungai dan menaiki gunung, untuk menghindari anjing-anjing itu.
Anjing-anjing itu semakin banyak. Aku sudah tak tahan lagi. Pesan kepala kampung agar aku jangan lari kuabaikan. Aku berlari. Anjing-anjing juga berlari. Perbatasan kampung masih jauh. Semakin aku berlari, anjing-anjing itu semakin cepat mengejarku. Jaraknya kian dekat, jumlahnya jutaan ekor. Aku harus berlari cepat agar bisa melewati hutan, menyeberangi sungai dan menaiki gunung agar  tiba di rumah. Sayangnya,  hutan, sungai dan gunung yang kutuju belum kelihatan. ***

Aminah Sjoekoer di Kapal Nederland

Aminah Sjoekoer di Kapal Nederland


AKU membisu di buritan kapal.  Mataku yang biru memandang letih ke muara Mahakam. Kapal  melewati bekas lokasi peristiwa perampasan kapal Belgia “De Charles” saat panglima perang Awang Long bersama pasukan kerajaan Koetai mengejar sisa pasukan Inggris di bawah pimpinan James Erkine Murray tahun 1844 lalu.
Kapal bergerak pelan, menuju laut lepas. Makin menjauh meninggalkan muara Mahakam. Dengus mesin kapal nederland itu seperti musik pesta dansa bangsawan semalam. Borneo-Amsterdam memang bukanlah jarak yang dekat. Setelah meninggalkan Borneo, kapal yang juga membawa lada, karet, rotan, tengkawang ini akan mampir ke sejumlah pelabuhan, termasuk pelabuhan Sunda Kelapa di Batavia. Tiba di Batavia, aku akan istirahat beberapa hari di Hotel der Nederlanden di Rijswijk  tempat aku menginap sebelum ke 0ast Borneo.
Sebenarnya, aku belum ingin meninggalkan kampung di pinggiran Mahakam yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Koetai. Masyarakat menyebutnya kampung Samarinda. Masih banyak yang perlu ingin aku ketahui. Terutama tentang seorang gadis indo-nederland.
Kedatanganku yang pertama 5 tahun yang lalu. Di tahun 1923 bertepatan dengan pendirian Holands Inlandche School (HIS), sekolah swasta yang pertama di Samarinda. Hanya sempat menetap 1 bulan 4 hari, aku balik lagi ke Batavia.
Di awal tahun 1928, aku ke Samarinda untuk yang kedua kalinya. Residen J. De Haan, yang baru saja menggantikan C.J Van Kempen sebagai residen di Banjarmasin yang mengajakku. Aku masih bertahan di Samarinda ketika residen De Han kembali ke Banjarmasin, wilayah di selatan Borneo yang direncanakan bakal menjadi ibukota provinsi Borneo.
Aku sudah lebih dari 2 bulan di Samarinda. Alasan utamaku bertahan karena ada seorang wanita keturanan Indo Nederland yang menarik perhatianku. Sayangnya, koran Zandvoor tempatku bekerja sebagai pembantu wartawan meminta kembali ke Nederland. Apalagi kalau bukan untuk membantu liputan olimpiade musim panas ke 9 di Amsterdam-Nederland tahun 1928 ini. Padahal di tahun  ini juga,  insting wartawanku sudah mencium adanya rencana penting tentang pertemuan besar para pemuda dari berbagai wilayah Hindia Belanda di Batavia.
Oast Borneo sudah hilang dari pandanganku. Aku masih berdiri di buritan kapal. Burung-burung terbang rendah. Melayang rendah sekali. Mencium air laut lalu terbang tinggi. Menjauh.
“Kenapa kau diam?” tanyaku kepada wanita Indo-Nederland itu tanpa memandang wajahnya. Aku mengalihkan mata ke awan yang bergerak pelan membentuk dirinya. Aku menatap ikan-ikan berenang seperti menyeret gelombang. Angin berhembus pelan, tetapi terasa sekali menyapa dan memeluk tubuhku.
“Bicaralah,”  suaraku lagi. “Bicaralah tentang cita-citamu. Aku ingin sekali mendengar suaramu yang lembut”.
Ia diam.
Suara decak air bersama dengus kapal kian terasa.
“Ah, mungkin kau lagi malas berbicara,” kataku lagi.
Tapi ia tetap diam. Membisu. Ia terkadang keterlaluan, dengan membiarkan aku berbicara sendirian.
Aku memandang ke langit biru. Awan-awan tampak bergerak pelan. Aku melihat di awan-awan  yang putih dan bergumpal-gumpal  itu tergambar wajahnya yang bersih.
Kubayangkan ia tersenyum padaku, dengan bibirnya yang tipis. Rambutnya yang panjang kekuning-kuningan berkibar-kibar sehabis berkeramas dengan fajar yang indah.
 ‘’Bicaralah, walaupun sepatah dua patah kata,’’ aku memelas.
Ya, ampun. Kenapa jadi begini? Tuhan buatlah suasana yang lain.
Ia terus membisu.
Sedangkan angin laut Sulawesi terus saja menampar wajahku, berusaha menyadarkan.
Aku hanya bisa menghela napas putus asa. Ah, tidak! Aku tidak putus asa. Aku hanya mendesah. Aku akan terus berusaha mengajaknya berbicara tentang apa saja. Aku lalu menatap wajahnya. Ada keinginan yang mendesak untuk berbincang dengannya.
***

“Panggil saja aku Aminah Sjoekoer,’’ katanya suatu hari kepadaku. Bagi warga boemi poetera pinggiran Sungai Mahakam, wanita Indo-Nederland ini lebih dikenal dengan nama Atje Voorstad. Voorstad dalam bahasa Indonesia berarti pinggiran. Aku menduga tambahan  voorstad di belakang nama Atje itu  sudah berbicara; sekalipun dia wanita keturunan Nederland, namun dia mau bergaul dengan masyarakat pribumi.
Aku mengenalnya pertama kali saat acara peresmian HIS swasta yang kemudian diambil alih pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi sekolah negeri. Aku rasa bukan karena sama-sama keturunan Nederland kami cepat akrab. Atje atau Aminah orangnya memang ramah. Dia bersedia bergaul dengan siapa.
Sejujurnya, aku ingin sekali mengajak dia ke Nederland. “Apakah kamu tak punya keinginan untuk kembali ke Nederland?” tanyaku, setelah bincang-bincang agak lama saat perkenalan pertama.
 “Aku lebih suka di sini, di Samarinda. Aku ingin mewujudkan cita-citaku. Aku di sini ingin membangun sekolah khusus wanita,” jawabnya.
Keinginan yang bagus. Dan pasti banyak halangan. Karena mendirikan sekolah untuk pribumi saja sulit, apalagi sekolah khusus untuk wanita pribumi. Selain rumit berurusan dengan pemerintah Hindia Belanda, juga dengan masyarakat boemipoetera yang masih menempatkan kaum wanita sebagai bagian masyarakat kelas dua, yang menganggap wanita belum perlu mendapatkan pendidikan yang layak. Percuma wanita bersekolah, toh nanti kembali ke dapur juga, begitu umumnya anggapan warga pribumi. Tapi tidak bagi Aminah.  Baru sekali bertemu aku sudah bisa menyimpulkan, wanita bertubuh tinggi ramping berkulit putih ini memiliki tekad yang kuat.
‘’Aku akan berusaha dengan segala cara agar wanita pribumi bisa mengikuti pendidikan sejajar dengan laki-laki. Aku akan mendirikan sekolah untuk kaum wanita,’’ katanya di lain hari saat kami berjalan-jalan kaki di chineescheveer straat.
Aku mendukungnya. Sekalipun dalam sebuah pembicaraan, residen J. De Haan sempat meremahkannya. “Waarom zou die persoon het opzetten van een speciale school voor autochtone vrouwen. Wat een verspilling van tijd en geld ... (Buat apa itu orang mendirikan sekolah khusus untuk perempuan pribumi. Buang-buang waktu dan uang)’’ residen J. De Haan tersenyum sinis kepadaku.
Semangat mendirikan sekolah kembali aku lihat, ketika dia mengajakku berjalan-jalan di kampung Bandjar, sekitar China voorstraat, Sultan weg, Herengracht straat dan smokke straat.  Kami menemui beberapa tokoh pendidikan pribumi Samarinda, yang ternyata juga sangat mendukung dirinya. Mereka di antaranya Masdar dan M Yacob, di antara tokoh yang ikut memperjuangkan berdirinya HIS partikelir pertama di Samarinda. Juga ada Kasirun yang menjadi guru negeri di HIS. Aminah memperkenalkanku. “Ini Meneer Ivan Van Mannen Zijn Niet Echt seorang jurnalis dari Nederland,’’ katanya menyebut lengkap namaku.
Cukup lama juga kami berbincang dengan tokoh-tokoh cendikiawan pribumi. Pemikiran-pemikiran mereka cukup cemerlang.
“Sebagai orang asli pribumi kami malu sekaligus bangga dengan anda. Perhatian anda terhadap pendidikan masyarakat pribumi memotivasi kami untuk lebih bekerja keras lagi,’’ kata Kasirun.
Di kampung Bandjar itu pula lah kami berkenalan dengan Arbayah, gadis berusia 14 tahun, yang memiliki keinginan kuat untuk bersekolah. Ayahnya bernama Abdullah, pekerja biasa di NV Handel Maatshappi Borneo Samarinda (HBS).
“Abah tidak setuju kalau saya bersekolah. Ujar Abah apa untungnya. Nanti setelah kawin mengurusi dapur juga,’’ kata Arbayah.
“ Bersekolah itu pintar. Lelaki dan perempuan sama saja haknya untuk menjadi pintar,’’ kata Aminah.
 Selain bertemu Arbayah, kami juga bertemu dengan beberapa anak, dan orang tua mereka. Bagiku, pertemuan yang berkesan hanya saat bersama Arbayah. Badan gadis berkulit putih ini bonsor. Sama seperti anak-anak lainnya. Dia cukup cantik, tapi sayangnya dia buta huruf.
“Aku ingin sekali bisa membaca dan menulis,’’ kata Arbayah.
Arbayah sering mengunjungi rumah Aminah. Aku juga menjadi akrab dengannya. Perbedaan usia  bukan penghalang bagi kami. Semakin kenal dengan Aminah, aku jadi semakin suka bergaul dengan orang boemi poetera atau pribumi. Terutama Arbayah, gadis bongsor berkulit putih.  Dia pernah menyampaikan kepadaku, teman-teman gadis seusia dia sudah banyak yang menikah.
‘’Ini sapu tangan kenang-kenangan untuk meneer,’’ kata Arbayah ketika kebetulan aku bertemu kembali dengannya di depan penginapan Nam Yang, tempatku menginap di Chinavoor Straat.
“ Terima kasih,’’ kataku. Arbayah tersenyum, kepalnya kembalinya menunduk. Dia membalikan badannya, dan pergi.
“Arbayah ...,’’ suaraku memanggilnya ketika sudah sekitar tujuh langkah dia pergi.
Arbayah berbalik.
Aku mendekatinya. “ Ini pen dari ku”. Spontan kuambil pen dari kantongku.
Arbayah tersenyum. “ Terima kasih meneer,’’ Arbayah lantas pergi.
Tak ada pembicaraan lama ketika itu. Aku memperhatikan, ketika gadis muda itu menghilang di tikungan jalan. Sapu tangan berwarna pink, yang bersulam bunga dari benang merah itu kumasukkan ke dalam saku di samping kiri kemeja putihku.
Meneer Ivan Van Mannen Zijn Niet Echt...,’’ kudengar suara Tan Ko Tjai di belakang. “Gadis pribumi yang cantik ... cocok untuk meneer yang masih muda,’’ pedagang rotan itu ketawa. Matanya yang sipit hampir tertutup.
Aku hanya tersenyum. Tak bisa berkata.
 “ Hari ini apa kegiatan meneer?’’ tanya Tan Ko Tjai.
“ Aku nanti mau ketemu Atje voorstad dan beberapa orang pergerakan”.
“Wah aktivis pendidikan  perempuan indo Nederland itu, meneer’’.
‘’Iya, perempuan cantik yang ingin mendirikan sekolah untuk wanita pribumi”.
Tak sampai 30 menit aku berbicara dengan Tan Ko Tjai, tentang Aminah, tentang orang-orang pers, tentang akan berdirinya sejumlah organisasi pergerakan di Samarinda. Tan Ko Tjai cukup terbuka dan berani. Tan Ko Tjai kenalan lamaku. Aku mengenalnya saat di Batavia.
“Ok, meneer saya mau ke Paal Arang dulu. Ada urusan di sana,’’ Tan Ko Tjai permisi, dan kami berjabatan tangan. “Jangan terlalu banyak dipikirkan, meneer ... dan hati-hati meneer,’’ candanya lagi sambil bergegas berjalan.

Hari masih pagi. Aku berjanji bertemu Aminah di gedung Sjarikat Islam.  Saat aku tiba, dia sedang berbicara dengan seorang lelaki.  
“Ini wartawan yang saya bicarakan tadi ... “ dia berdiri seraya menjabat tanganku.
 Begitupula lelaki itu. Di tangan kirinya aku lihat sepertinya koran lokal, bertulis “Persatoen”. “Sayuti Lubis,” dia menyebut namanya.
“Jangan khawatir ...,’’ Aminah tersenyum ke arah Sayuti Lubis. Giginya yang putih bersih nampak terlihat.
Selain berbicara tentang rencana pendirian sekolah khusus kaum wanita, sesekali kami juga berbincang tentang koran dan seputarnya. Enak juga mengobrol dengan lelaki asal Tapanuli ini. Bicaranya bersemangat. Wawasannya luas. Tak peduli dia, sekalipun kami saling kenal. Mungkin, dia percaya sama aku, sama percayanya dengan Aminah, yang telah dikenalnya sejak lama.
Menjelang sore, aku mengantar Aminah pulang. Disepanjang jalan dia bercerita, bukan hanya tentang abahnya Arbayah saja yang masih tak enggan anaknya bersekolah, tapi juga orang tua dari Hadijah, Sabariah, Sumi, Zaenab dan anak-anak kampung lainnya. Dari cerita Aminah aku masih bisa menangkap optimis, cita-citanya untuk mensejajarkan kaum wanita agar memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki akan bisa diwujudkan.
Aku juga menceritakan tentang pesan Residen J. De Haan yang disampaikan kurirnya untuk tak bergaul terlalu akrab dengan orang pribumi, termasuk dengan dirinya. Peringatan De Haan itu tentu saja kubiarkan. Bergaul dengan siapa saja itu adalah urusanku. Sekalipun beresiko.
***
MATAHARI hampir tengelam di laut. Cahayanya mulai pudar.
Kulihat awan putih berpedar-pedar dalam senja. Bermain-main bersama angin. Berkejar-kejaran.
Kapal terus melaju. Dengusnya masih terdengar, bersama riak gelombang. Aku sendirian. Tidak ada Aminah Sjoekoer atau Atje Voorstad. Sekalipun angin menyapaku, menegurku untuk memunculkan bayang Aminah Sjoekoer di benakku, sekalipun laut melambai-lambai membuka pikiranku tentang Atje Voorstad, aku masih tetap sendirian.
Yang tersisa di kantongku hanyalah sapu tangan berwarna putih, yang di ujungnya ada gambar pen bersulam benang warna kuning emas. Ya, pen kuning emas bukan sapu tangan berwarna pink, yang bersulam bunga dari benang merah. Sapu tangan bergambar bunga merah milik Arbayah sengaja aku tinggal di ranjang kamar sebelum aku meninggalkan penginapan Nam Yang. Sapu tangan itu kutinggal  setelah aku mengetahui Arbayah dinikahkan minggu depan. Di  ranjang itu pula aku meninggalkan noda merah dari kesucian Arbayah.  Sekalipun sapu tangan bunga dan noda berwarna merah  aku tinggalkan, namun aku tak bisa melupakan Arbayah, sepanjang hidupku terutama perbuatan terlarang yang kami lakukan pertama kali di kamar penginapan Nam Yang.
  Sekalipun Arbayah tak diperbolehkan sekolah dan dinikahkan abahnya, pada akhirnya, cita-cita Aminah Sjoekoer telah terwujud. Neisjes School, sekolah untuk kaum wanita akan berdiri di Samarinda. Aku mendengarnya sebelum berangkat naik kapal.
“Maaf aku belum bisa ikut ke Nederland. Mendirikan sekolah bukan berarti tugasku sudah selesai. Tugas selanjutnya akan lebih berat ...,’’ suaranya ketika mengantarku di pelabuhan.
Aku hanya tersenyum. Menjabat tangan kanannya. Ketika kapal nederland yang kutumpangi menjauh meninggalkan Samarinda, dia melambai-lambaikan tangan kanannya. Jujur, aku belum begitu mengenalnya. Aku hanya memiliki sapu tangannya yang berwarna putih bergambar pen dari benang kuning emas. Apakah kalian sangat mengenalnya?
Kapal pun terus melaju. Membelah gelombang. Dengusnya masih terasa. Awan-awan yang bergumpal-gumpal membentuk dirinya sudah tak ada lagi.  Kukira  sebentar lagi malam yang membawa mimpi akan datang. ***

Catatan
-          Awang Long =panglima angkatan perang sepangan Kerajaan Koetai, yang bergelar Panglima Ario Senopati. Senopati yang bersama pasukannya berhasil mengalahkan pasukan Murray.  Awang Long tewas ketika pertempuran hebat melawan  armada perang lengkap Belanda di bawah pimpinan Letnan Laut T’Hoof.
-          James Erkine Murray =  Ingin seperti James Brooke yang berhasil mendirikan kerajan di Brunai. Februari 1844 JE Murray membawa 2 kapal perang, yakni “Young Queen” yang dikemudikan Kapitan  Hart dan Kapal Perusak “Anna” dengan Nahkoda Lewis. Memasuki  wilayah Kutai, dengan mengatakan ingin menjadi raja.  Murray meminta izin Sultan Salehuddin untuk membuka kantor  perwakilan dagang di Tenggarong dan meminta monopoli perdagangan. Sultan meminta buka di Samarinda saja. Murray mengancam. Sultan melawan. Akhirnya terjadi peperangan.  Murray akhirnya tewas.
-          Rijswijk = kawasan Jalan veteran Jakarta. Di kawasan ini dulu ada Hotel der Nederlanden, kini menjadi gedung Bina Graha Jakarta.
-          J. De Haan = residen Belanda di Banjarmasin menggantikan Van Kempen,  menjabat mulai tahun 1924-1929
-          C.J Van Kempen = residen Belanda di Banjarmasin tahun 1924.
-          Meneer = tuan
-          Abah =bahasa Banjar, artinya ayah
-          Chineescheveer straat = jalan di pusat kota di pinggir Sungai Mahakam. Dari Karang Mumus hingga Sungai Karang Asam Besar.  Perkampungan China di Jalan Pelabuhan dan di sekitar Kampung Karang Mumus.
-          Kampung Bandjar = berada di  wilayah utara Wilhelmina Laan, yang membujur dari selatan ke utara atau sepanjang Karang Mumus Straat dan Bandjar Straat.
-          Kasirun =seorang guru di HIS milik Hindia Belanda, yang kemudian memilih menjadi kepala sekolah Neutrale School,  karena memiiki kebebasan menanamkan jiwa kebangsaan kepada anak didiknya.
-          NV Handel Maatshappi Borneo Samarinda (HBS) = perusahaan perdagangan  ekspor-impor yang didirikan pedagang-pedagang suku Banjar. Perkampungannya dinamakan kampung HBS, yang letaknya di sekitar BRI sekarang. Persekutuan dagang ini selain menyaingi pengusaha-pengusaha dagang Belanda dan China, tokoh-tokohnya juga bergerak di bidang pergerakan kemerdekaan dan da’wah Islam.
-          Penginapan Nam Yang = terletak di perkampungan China, sekarang di sekitar Jalan Pelabuhan. Di dekat penginapan Nam Yang ada pula penginapan Swan Yang.
-          Paal Arang = Seperti kata Samarinda, berasal dari bahasa Banjar Samarendah kemudian menjadi  Samarindah (logat Banjar), Paal Arang berarti batas arang (orang Banjar suka menyebut batas dengan Paal), hingga menjadi nama Palaran salah satu kecamatan di Samarinda.
-          Surat Kabar “Persatoean” =  surat kabar yang pertama kali terbit di Samarinda. Directeur (pemimpin umum) dan hoof redacteur (pemimpin redaksi)  Sayuti Lubis dari Tapanuli, yang juga aktivis Sjarikat Islam Cabang Samarinda.  Beberapa kali  “Persatoean” mau di Bredel  Hindia Belanda.   Akhirnya dibredel juga, karena dua tulisan dinilai menghasut  dan menghina pemerintah Hindia Belanda. 22 Desember 1928, di depan lanraad (pengadilan) Sayuti Lubis dijatuhi  hukuman penjara dua tahun empat bulan. Sayuti banding, hukumannya diperingan lima bulan dan menjalani hukuman di penjara Cipinang.

Selasa, 25 Oktober 2011

cerpen :SELENDANG BIRU PUTERI


SELENDANG BIRU PUTERI

::Naga Pamungkas::

GERIMIS mulai turun. Titik-titiknya mulai menyentuh tubuhku.
                Aku segera mempercepat langkahku. Saat ini aku tak ingin bercumbu dengan gerimis. Senja beberapa saat yang lalu telah datang. Warna gelap di beberapa tempat di Tanah Grogot ibukota Kabupaten Paser tampak nyata.
Lampu-lampu jalan yang menghiasi kota Tanah Grogot memang sedikit.
                Aku kini setengah berlari, beradu cepat dengan gerimis dan malam. Pasar Pagi Tanah Grogot sudah sepi. Setelah sholat magrib di Masjid Agung, baru aku ingat, malam ini aku berjanji main ke rumah Ella, teman baruku. Aku bertemu dengannya di Perpustakaan Umum tanah Grogot.
''Fay, main ke rumah …,'' katanya.
                ''Iya,'' jawabku.
                ''Aku tunggu nanti malam ya''.
                Aku hanya mengiyakan lagi.
                ''Benar nah Fay. datang ya malam ini?'' ujar Ella lagi.
                ''Malam ini malam apa? tanyaku.
                ''Malam Jumat. Memang kenapa?”
                ‘'Nggak. Nggak papa. Kalau malam besok gimana atau malam Minggu aja?'' kataku seraya melempar senyum.
                ''Malam ini aku ulang tahun, Fay,''katanya.
                Ada beberapa kali Ella menyuruhku datang ke rumahnya. Dan ada beberapa kali pula aku tidak sempat mampir ke rumahnya. Tapi kali ini aku merasa tidak enak. Dia ulang tahun.
                Aku bergegas. Pelabuhan sudah aku lewati. Aku perkirakan, hujan lebat tak akan turun. Hanya gerimis. Itu pun hanya sebentar. Aku melihat di pinggir jalan hanya ada beberapa orang yang berteduh dengan sabar. Ada pula beberapa orang yang membunuh dingin di Bakso Sabar, depan pelabuhan. Tanah Grogot memang sepi bagiku, yang baru beberapa bulan menginjakkan kaki di kota yang jarak tempuhnya dari Kecamatan Penajam (sekarang jadi Kabupaten Penajam Paser Utara) dua jam lebih. Kalau seandainya tidak ada beberapa teman yang aku kenal, aku sungguh-sungguh seperti orang yang terasing; sendiri berteman sunyi di Desa Sungai Tuak, sebuah desa yang letaknya di seberang sungai Tanah Grogot. Desa yang hanya dipisahkan Sungai Kandilo. Sekalipun jaraknya dekat, namun Desa Sungai Tuak sungguh desa tertinggal.
                Aku ke Sungai Tuak karena melarikan diri dari rutinitas kuliah. Semula aku hanya jalan-jalan saja. Eh, ternyata, aku malah tinggal di desa tersebut, dan sesekali  bertukar pikiran dengan petani di sawah. Aku mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda yang mencoba mengamalkan sedikit ilmu di desa, sekalipun belum lulus kuliah.
                Semula aku diajak Pak Yanto Kepala Desa Rantau Panjang tinggal di rumahnya. Namun, aku lebih memilih tinggal di Desa Sungai Tuak, yang jaraknya tak terlalu jauh dari Tanah Grogot.
                Desa Rantau Panjang belum ada listriknya. Jalan tembus lewat darat baru beberapa bulan yang lalu dirintis oleh ABRI Masuk Desa (AMD) bersama dengan penduduk Desa Rantau Panjang.
                Sedangkan di Desa Sungai Tuak sudah ada listrik dan jalan tembus, sehingga kita tak kesulitan bila menuju ke rumah tetangga. Bayangkan, betapa sulitnya bagi kita yang tak bisa mendayung bila ingin pergi ke rumah tetangga, karena harus lewat sungai.
                Aku sendiri, baru saja bisa mendayung. Pertama kali mencoba mengayuh, aku malah terputar-putar bersama perahu di tengah sungai. Kini aku sedikit mahir. Aku tidak perlu lagi minta bantuan orang lain untuk menyeberangkanku ke Tanah Grogot. Baik siang maupun malam hari.
                Pernah suatu kali, aku pulang malam. Aku lihat di pinggir sungai tidak ada perahu miliknya Upe, tetanggaku di Sungai Tuak. Perahu milik Upe itu biasa aku pinjam. Tapi ada sebuah perahu, yang entah aku tidak tahu siapa pemiliknya. Tapi tidak ada dayungnya. Yah, terpaksa aku mengayuh pakai sandal jepit. Untung bisa. Padahal arus air Sungai Kandilo malam itu cukup besar dan kebetulan saat itu di Desa Sungai Tuak mati lampu, sehingga tampaklah Desa Sungai Tuak bagaikan sebuah hutan angker yang tak berpenghuni.
                Gerimis sudah berhenti. Langit masih gelap. Tak ada bintang-bintang. Aku sudah tiba di tepi Sungai Kandilo, di belakang Langgar Attaqwa. Suasana benar-benar sunyi. Namun, Sungai Kandilo tidak tidur. Arus airnya cukup deras dan pasang. Arusnya berlenggang-lenggok ke hulu.
                Aku tebarkan pandanganku ke seberang, ke balai desa, tempat aku tinggal ; gelap, lampunya belum dinyalakan. Sebenarnya ada rasa takut juga aku tidur sendirian di kantor Balai Desa itu. Tikusnya banyak dan besar-besar. Bila malam tiba mereka keluar dari sarang dan berlarian. Aku sempat ditawari Pak Bedu, Ketua LKMD setempat untuk tidur di rumahnya, tapi aku tak ingin merepotkan.
                Pernah suatu kali, kelambuku dijatuhi tikus. Namun itu tak seberapa membuatku takut. Yang aku takuti adalah ular. Di Desa Sungai Tuak banyak berkeliaran ular-ular. Aku sempat beberapa kali bertemu ular. Baik ular yang besar maupun ular yang kecil. Baik yang berwarna gelap ataupun yang berwarna terang. Apakah kalian ingin berkenalan dengan mereka? Hih ….jangan deh.
                Aku sudah pula berkenalan dengan ular yang beranak di perahu ketika aku menyeberang. Untungnya, aku tahunya setelah tiba di seberang sungai. Seandainya aku tahunya di tengah sungai, tentu aku akan lebih memilih terjun ke sungai. Takut bila ular itu  mengigit kakiku. Wuih, ngeri!
                Selama lebih lima bulan aku tinggal di Desa Sungai Tuak, ada suatu keanehan yang aku alami. Yaitu : setiap aku tidur sendiri dan aku juga tidak tahu, waktunya selalu malam Jumat, aku bertemu dengan seorang perempuan muda, usianya sekitar dua puluhan tahun. Dia berpakaian kain sutera berwarna kuning dan memakai selendang berwarna biru. Wajahnya sungguh cantik. Dia tidak berkata apa-apa. Hanya tersenyum lalu menghilang.
                Aku tidak tahu, apakah aku hanya bermimpi? Tapi anehnya, pagi harinya ketika aku bangun di meja kantor Balai Desa itu tersedia makanan dan buah-buahan. Ah, seperti dongeng saja. Sungguh, aku benar-benar tak mengerti.
                Dua kali sudah aku bertemu dengan perempuan (yang sungguh benar-benar cantik)  itu. Pada pertemuan yang kedua, dia sempat berkata ;” Aku Putri dari Pasir Belengkong. Aku ingin bersama kamu ...'' lalu dia kembali menghilang.
                Putri dari Pasir Belengkong? Siapa dia? Aku hanya tahu sedikit tentang Kecamatan Pasir Belengkong. Di daerah itu memang ada bekas kerajaan dan sekarang jadi museum. Aku hanya tahu itu. Aku belum pernah ke sana. Aku tidak tahu puteri-puteri dari kerajaan Pasir Belengkong. Sungguh. Atau adakah kerajaan lain di Pasir Belengkong? Atau ini juga puteri, tapi bukan dari kerajaan Pasir Belengkong?
                Aku harus bergegas pulang. Bukankah malam ini aku janji akan ke rumah Ella? Dia ulang tahun. Aku hanya ingin berganti baju. Dan menyemprotkan wewangian ke tubuhku. Malam ini aku malas mandi. Pasti dingin. Ah, biar besok pagi saja.
                Aku melihat perahu miliknya Upe ditambatkan di pinggir sungai. Untung ada dayungnya. Mungkin Upe atau Dani, adiknya Upe yang memakai. Aku cuma pinjam sebentar, toh nanti bila ada warga yang ingin menyeberang ke Sungai Tuak akan memakai perahu itu lagi dan kembali ke seberang. Tali pengikat perahu aku lepaskan. Lantas aku duduk di ujung perahu. Arus air cukup deras. Perahu mulai aku kayuh. Namun, apakah aku yang lambat mengayuh ataukah karena arus yang deras, sehingga perahu hanyut.
                Aku berusaha mendayung, tapi perahu terus saja hanyut tanpa bisa aku kendalikan. Perahu hanyut ke hulu. Keringat sudah membasahi tubuhku. Kegelapan sungai tak bisa membantuku. Sunyi. Ada sesuatu kekuatan gaib yang tidak bisa aku lawan. Dan, perahu pun itu terus hanyut.
                Akhirnya perahu tiba di tepi sungai. Tapi aku yakin, ini bukan di Desa Sungai Tuak, apalagi tanah Grogot. Entahlah, aku tidak tahu dimana kini aku berada.
Di tepi sungai orang-orang ramai berdiri. Tapi, tak satupun yang aku kenali.
                ‘'Selamat datang, Tuan,'' ujar orang yang berdiri di depanku.
                Ada beberapa orang, yang nampaknya (bila melihat pakaiannya) seperti prajurit istana, berdiri di samping orang yang berkata-kata menyambutku tadi. Ada tombak dan perisai di tangannya.
Ada keheranan di wajahku.
                ''Tuan kami persilahkan masuk keraton''. Orang itu mempersilahkan. Sikapnya sopan dan ramah.
                Aku melangkah mengikutinya. ''Ada apa ini?'' tanyaku.
                ''Bukankah tuan akan menikah dengan sang puteri?
                ''Aku akan menikah dengan sang puteri?'' aku makin kebingungan.
                ''Kapan?'' tanyaku.
                ''Bukankah malam ini tuan?'' jawab laki-laki tinggi besar itu lagi. ''Tuan kami persilahkan beristirahat dulu,'' lanjutnya.
                Aku disuruh masuk ke dalam sebuah ruangan. Ruangannya luas dan sungguh bagus. Ada sebuah ranjang dan barang-barang antik di sekitarnya.
                Tidak berapa lama kemudian, pintu ruangan kembali terbuka. Seorang perempuan muda masuk dengan membawa makanan dan dua orang perempuan muda lagi membawa minuman dan buah-buahan.
                Makanan dan buah-buahan itu diletakkan di meja. Lantas mereka pergi meninggalkan ruangan. Pintu ruangan kembali ditutup.
                Aku membaringkan tubuh di ranjang. Kutatap langit-langit. Apa yang kini sudah terjadi pada diriku? Di mana kini aku berda? Aku akan menikah? Apakah aku kini berada di alam gaib. Oh, tidak! Aku berteriak sekeras-kerasnya; ''Tidaaaaak!”.
               
                                ***

                SANG Surya sudah bersinar. sinarnya kembali menyiram bumi. Ayam-ayam Upe juga sudah ramai berkokok. Aku terbangun. Pandangan kutebar ke ruangan sekitar. Aku berada di Balai Desa Sungai Tuak. Oh, apakah tadi malam aku bermimpi?
                Tapi, Oh! Aku kembali tersentak kaget. Dari balik kelambu, aku melihat makanan, minuman dan buah-buahan terhidang di meja. Dan aku lebih tersentak kaget lagi, ketika aku melihat di sampingku; tergeletak sebuah selendang biru.
                Apakah kamu tahu selendang biru itu milik siapa?
Ah, aku kembali mengecewakan Ella. Aku menguap. Aku masih mengantuk dan ingin tidur.
                Dan aku biarkan saja selendang biru itu terbaring di sampingku. *


                                                Desa Sungai Tuak, Februari 1995